Film Bermutu yang Universal
Film
ini ini bersifat universal dan tidak menggurui karena didominasi oleh
muatan ketabahan, kejujuran tanggung jawab, serta keperdulian.
Film
Children of Heaven lebih banyak menfokuskan pada dunia anak-anak.
Menurut saya film ini bisa menjadi inspirasi sekaligus pembelajaran
bagi pemerintah Indonesia khususnya stake holder yang menangani problem
anak-anak jalanan maupun anak terlantar yang menjadi salah satu problem
pelik di negeri ini. Lebih-lebih terjadinya praktek mutilasi dan
pemerkosaan biadab terhadap anak-anak. Padahal di UUD 1945 sangat jelas
diterangkan, bahwa mereka dilindungi dan menjadi tanggungan negara.
Children
of heaven, sungguh sebuah film bermutu dan bisa dinikmati oleh semua
kalangan. Film Nominasi Oscar ini meraih penghargaan pada Montreal World
Film Festival, Newport International Film Festival, dan Silver Screen
Awards di Singapore International Film Festival.
Tidak
ada baku tembak, kejar-kejaran mobil lalu tergelincir dan meledak
terbakar di jalan beraspal, juga suara mesiu ataupun ledakan bom dan
tentu saja tidak mengenkspos kevulgaran pornografi di tayangan film
Children of heaven ini, seperti yang terjadi film layar lebar Indonesia
pada akhir-akhir ini lagi ramai diperbincangkan dan menjadi polemik
banyak kalangan.
Fenomena ini
menarik perhatian saya untuk mengulas tentang Children of heaven dalam
salah satu posting saya dalam mengikuti Djarum Black Blog Competition
ini.
Bila
dicermati Children of Heaven adalah sebuah film drama rumah tangga
biasa. Namun yang berbeda dari film garapan sutradara Iran terkemuka
Madjid Madjidi ini, mampu membuat penonton terpukau, nyaris tak
beringsut sedikitpun dari tempat duduk kita.
Karena
tulisan ini sekedar sinopsis singkat, untuk mengobati rasa penasaran
anda, akan lebih baik mencari dan menyimak filmnya secara lengkap lewat
cd atau dvdnya di toko-toko kaset di kota anda. Karena di you tube
internet hanya berdurasi sekitar 10-30 menit.
Tak
hanya rasa iba dan kesedihan mendalam yang membuat penonton terenyuh
menyaksikan sepasang bintang cilik ini beraksi. Namun keluguan dan
kelucuanpun terkadang mampu membuat kita penonton tertawa
terbahak-bahak.
Saat
Anda menonton film ini, terkesan sederhana dan dapat diestimasi biaya
pembuatannya film ini pun sangat murah dibandingkan kebanyakan film
layar lebar Indonesia yang menghabiskan dana miliaran rupiah tetapi
hanya mengumbar kekerasan, klenik dan seksual secara vulgar.
Saya sangat berharap kepada stake holder perfilman Indonesian serta para sponsor tidak terkecuali kepada pihak Djarum black untuk lebih support dalam pembuatan film-film seperti ini.
Sinopsis Singkat
Kisah film ini diawali dengan sosok bocah lelaki bernama Ali dan mempunyai adik perempuannya Zahra dan seorang lagi masih bayi.
Anak
belasan tahun dari keluarga Karim ini hidupnya sangat sederhana yang
tergolong keluarga miskin. Maklum, Karim ayahnya hanya seorang Marbot
pengurus mesjid di tempat tinggalnya.
Kemiskinan itulah yang membuat titik persoalan di film yang berdurasi 88 menit ini.
Ali
yang mendapat tugas dari sang ibu untuk membeli kentang di pasar,
awalnya memperbaiki sepatu adiknya Zahra pada seorang tukang sol sepatu.
Saya teringat Tukang sol sepatu ini, dilihat dari penampilan serta peralatan yang dimilikinya, mirip sekali dengan Uba Jeno, tukang sol sepatu di kampung saya. Hehee...
Usai
sepatu adiknya dijahit oleh tukang sol sepatu, lalu dibungkus pakai
kantong plastik kresek dan meneruskan tugas dari ibundanya ke pasar
sayur mayur.
Untuk
memudahkan belanja yang dipesan ibunya Ali menaruh sepasang sepatu
butut yang tadi di kantong plastik kresek ke sela-sela tumpukan kotak
kayu di bawah sisa barang dagangan. Sialnya sepatu jahitan tersebut
selanjutnya terbawa oleh tukang sampah yang membersihkan lingkungan
kios-kios.
Tak
heran usai belanja kentang, Ali tidak menemukan sepatu adiknya yang
disimpanya di sela-sela tumpukan kotak kayu dekat barang dagangan.
Kalang
kabut Ali mencarinya. Ia pun mencoba mengendap-endap mencari sepatu
itu, namun penjual sayur mayur didekatnya menjadi terganggu dan berang
melihat Ali seolah-olah ingin mencuri barang dagangannya. Ali pun diusir
dan dikejar sehingga Anak malang itu lari tunggang langgang.
Sesampainya
di rumah Ali menjadi cemas dan pucat pasi. Berulang kali Zahra adiknya
menanyakan sepatu yang diperbaiki, namun Ali tak bergeming.
Akhirnya
dengan jujur ia katakan bahwa sepatunya hilang di pasar sayur. Saat
itulah Zahra terlihat sangat sedih karena ia tidak memiliki sepatu lagi,
karena memang hanya satu-satunya untuk Zahra ke sekolah.
Ali
pun berusaha menghibur adiknya dengan memberikan pinsil kesukaannya.
Bahkan Ali memberikan pulpen bagus yang ia dapat dari penghargaan atas
prestasinya sebagai murid terpandai. Tentu saja dengan catatan agar
Zahra tidak memberitahukan orang tuanya kalau ia tak memiliki sepatu
lagi.
Yang
menarik di film ini, Zahra bergantian memakai sepatu butut satu-satunya
milik Ali. Kebetulan Zahra sekolah pagi sedangkan Ali masuk siang.
Di tengah jalan keduanya selalu memakai sepatu tersebut bergantian. Tidak jarang Ali sering terlambat masuk sekolah.
Celakanya,
suatu hari sepatu yang dipakai Zahra jatuh di sebuah got berair
mengalir deras. Dengan kalang kabut Zahra mengambil sepatu yang terbawa
arus kali kecil. Namun beruntung masih ada orang yang mau menolong
mengambilkan sepatu yang hanyut. Kendati akhirnya Zahra pulang kesiangan
dan Ali terpaksa mendapat terguran keras di sekolah.
“Jangan sampai ayah tahu adikku, kita bergantian sepatu.”
“mengapa? Kan ayah bisa beli lagi?” usul Zahra.
“Jangan.
Ayah kita tidak punya uang. Kita orang miskin. Kasihan ayah, sudah
kerja keras tetapi tetap tidak punya uang. Apalagi adik kita masih bayi.
Dia perlu susu dan makanan tambahan.”
Ali bersusah payah meyakinkan adiknya agar tak perlu melaporkan pada ayah tentang sepatu adiknya yang hilang.
Karim
sebagai ayahnya Ali seorang marbot dan pekerja serabutan. Karim memang
tidak mampu membahagiakan keluarganya. Namun sebagai seorang ayah dari
tiga anaknya yang masih kecil Karim tetap semangat untuk bekerja.
Suatu
ketika ia mengajak putranya Ali untuk melamar menjadi tukang kebun di
kota dengan mengendarai sepeda butut keliling kota, di komplek perumahan
elit. Lantaran digonggong anjing galak, keduanya harus lari tunggang
langgang. Pada bagian ini banyak adegan lucu yang muncul. Sampai
akhirnya Karim mendapat job sebagai tukang potong rumput dan menyirami
kembang di sebuah rumah mewah.
Karim
dan anak-anaknya Ali dan Zahra juga pernah melakoni memecah gumpalan
gula putih untuk jamaah pengajian di masjid tempat tugasnya sebagai
marbot.
Ketika Zahra membuatkan minuman-teh untuk ayahnya yang terasa kurang manis, dengan lugu Zahra mengatakan:
“Ayah tinggal mengambil gula di depan ayah.”
Namun
hal itu tidak dilakukan oleh Karim, meskipun gumpalan gula yang
dipecah-pecah untuk konsumsi jamaah pengajian, terlihat banyak di
depannya.
“Itu milik masjid. Kita tidak boleh mengambilnya anakku” kata Karim dengan jujur.
Sebagai
Muslim ia selalu berharap memakan makanan yang halal dari uang hasil
kerjanya. Tak lebih, karena keberkahan seseorang hanya bisa diperoleh
dari mendapatkan yang halal dari kerja keras, jujur dan tidak merugikan
orang lain sesuai yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Film
diakhiri dengan keikutsertaan Ali dalam lomba lari yang diadakan
sekolahnya. Niat Ali mengikuti lomba itu tak lain ingin meraih juara
ketiga dengan hadiah sepatu karet. Jika berhasil hadiah itu akan ia
persembahkan buat adiknya tercinta Zahra.
Sayang
seribu sayang Ali ternyata menjadi juara satu. Itu artinya ia mendapat
hadiah sepasang sepatu olah raga laki-laki, bukan sepatu karet untuk
wanita. Ali malah sedih, Ia merasa gagal membahagiakan Zahra .
Nilai apa yang dipetik dari film Children of heaven. Ada empat nilai yang dipetik dari film karya sineas
Iran
ini. Pertama selalu melakukan kejujuran. Kedua selalu mencari
penyelesaian masalah, ketiga selalu memikirkan orang lain dan keempat
mencapai prestasi setinggi-tingginya.
No comments:
Post a Comment