sebuah cepen karya anak bangsa dari Risti K.
Hujan
memberikan cerita berbeda seiring bertambahnya usia. Usiaku, bukan
usianya. Hujan juga memberikan kesan yang tak sama selama perjalanan
hidupku. Hujan yang turun di waktu yang berbeda, bukanlah hujan yang
sama. Kau keliru jika kau merasa bertemu hujan ketika ia turun setelah
lama merindukannya. Karena hujan yang kau rindukan dengan hujan yang
datang kemudian adalah hujan yang berbeda.
Saat usiaku masih dalam hitungan jemari, hujan adalah keceriaan. Usiaku 7 tahun, dan aku selalu bahagia saat hujan turun. Hanya mengenakan celana bola, bergerombol mengelilingi desa dengan sepeda, saling memanggil dengan berteriak, bernyanyi, tertawa, ah indah sekali. Saat itu, hujan adalah teman baikku, saat dimana keputusan tersulit dalam hidup hanyalah menentukan pulang lewat jalan yang sama atau berputar melewati desa sebelah.
Saat usiaku masih dalam hitungan jemari, hujan adalah keceriaan. Usiaku 7 tahun, dan aku selalu bahagia saat hujan turun. Hanya mengenakan celana bola, bergerombol mengelilingi desa dengan sepeda, saling memanggil dengan berteriak, bernyanyi, tertawa, ah indah sekali. Saat itu, hujan adalah teman baikku, saat dimana keputusan tersulit dalam hidup hanyalah menentukan pulang lewat jalan yang sama atau berputar melewati desa sebelah.
Tak
terlalu jauh dari masa sekolahdasarku, hujan menjadi sangat kejam di
mataku. Aku menjadi anak berumur 13 tahun yang selamat dari cengkraman
maut. Saat itu hujan turun dengan sangat bersemangat, dan sebuah truk
menabrak sepeda motor yang sedang dikendarai ayahku, dan aku dib
elakangnya. Aku selamat, tapi tidak dengan ayah. Dengan mata kepalaku
sendiri, kulihat darah dari tubuh ayah tersiram hujan dan mengalir
bersama air menggenangi jalan raya yang seketika dipenuhi banyak orang.
Aku menahan tangis sambil mengatur detak jantung yang kuharap berhenti
saat itu juga. Nafasku sesak. Tubuhku basah kuyup diserbu air sialan
yang membuat jalanan sangat licin sehingga ayah tidak bisa mengendalikan
rem dengan baik saat truk (yang jauh lebih sialan) itu melaju cepat di
jalur terlalu kanan. Aku masih mengingat jelas kejadiannya. Bahkan
sampai detik ini. Ya, kalau tidak, aku tidak akan bercerita seperti ini.
Hujan adalah musuh terbesarku saat itu. Aku membencinya, bahkan sangat
membencinya.
Ketika mulai beranjak dewasa, tepatnya di usia 25, aku menemukan seorang wanita yang tak tak pernah berhenti membuat hatiku penuh sesak dengan cinta. Aku tipikal pria pendiam, jadi tak heran jika sampai usia 25, aku belum pernah berpacaran sama sekali. Aku belum pernah menyatakan perasaanku pada wanita manapun. Dan lagi pula, aku memang belum pernah mencintai dengan cinta pada level dimana aku merasa harus mengutarakannya. Tapi kali ini berbeda. Aku benar-benar jatuh cinta. Gadis itu sempurna menjadi wanita kedua yang sangat kusayangi, setelah ibuku. Gadis berambut hitam panjang itu memaksa hatiku untuk menyatakan cinta itu.
Kata Ibuku, wanita takkan mudah lupa jika diperlakukan dengan tidak biasa oleh laki-laki. Tentu saja ‘tidak biasa’ disini adalah ‘tidak biasa’ yang berkesan baik. Karena ia adalah wanita pertamaku, dan juga kuharapkan menjadi yang terakhir bagiku, maka aku akan membuat pengakuan cinta ini menjadi sangat spesial. Maka aku datang kerumahnya ketika hujan, memanggil namanya, dan melamarnya. Aku tidak terlalu optimis, sebenarnya. Aku datang dengan hanya membawa cinta. Tanpa kendaraan, karena rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari rumahku. Tanpa gelar, karena aku bahkan tidak memiliki cukup uang untuk melanjutkan kuliah. Tanpa bunga, karena uangku hari ini hanya cukup untuk membeli obat untuk ibu. Dan tanpa cincin, bunga aja gak kuat beli apalagi cincin. Tapi mungkin Tuhan mengirimkan malaikat-malaikat keberuntungan lewat bulir-bulir hujan. Aku diterima, olehnya, dan juga keluarganya. Ayahnya memang sangat menyukaiku, aku pernah mendengar beliau mengatakan itu pada ibuku. Katanya, aku adalah salah satu pemuda di lingkungan tempat tinggalku yang, walaupun pendiam, tapi sangat baik dimata masyarakat.
Dan akhirnya kami menikah, setelah bekerja keras menabung untuk biaya pernikahan kami. Saat itu, istriku sangat menyukai hujan. Katanya, hujan adalah definisi dari kata romantis. Dia bilang, pria yang menyatakan cinta di tengah derasnya hujan adalah pria romantis. Menurutku biasa saja, tapi karena aku mencintai istriku, jadi saat itu aku ikut menganut faham raintisme atau apalah itu namanya. Yang kutahu, saat itu hujan adalah dewa keberuntunganku.
Lalu satu setengah tahun setelah pernikahanku, istriku melahirkan. Aku sedang berada di sebuah kantor megah yang belum jadi, saat salah seorang tetaggaku menelepon dan memberitahu bahwa istriku dibawa kerumah sakit karna perutnya mulai mulas. Aku seorang kuli bangunan yang sedang mengerjakan sebuah kantor yang rencananya akan di bangun setinggi 9 lantai. Dan saat itu aku sedang beristirahat karena hujan turun sangat deras. Namun setelah mendapat telepon dari tetanggaku, tanpa pikir panjang aku langsung meminta izin pada Pak Mandor dan mencari bajaj menuju rumah sakit.
Aku berlari menyusuri koridor rumah sakit dengan pakaian basah kuyup karena kehujanan. Hingga sampailah aku di hadapan dokter yang langsung menyambutku dengan berita yang membuat lututku lemas seketika. Aku ingat, beberapa bulan yang lalu aku sempat meminta istriku menggugurkan kandungannya karena dokter bilang kondisi rahimnya tidak terlalu baik. Tapi ia tetap ingin mempertahankannya. Mempertahankan anak kami. Dan di tengah deras hujan yang dilengkapi dengan petir yang sahut menyahut dengan lantang, akhirnya anak pertama kami lahir dengan selamat. Tapi tidak dengan ibunya.
Kukira, hari kelahiran anak pertamaku akan menjadi hari yang paling membahagiakan dalam hidupku selain hari pernikahanku. Tapi siapa yang pernah mengira bahwa hari yang kunanti itu ternyata bertepatan dengan hari kematian istriku. Perempuan yang sangat kusayangi, pergi demi keselamatan perempuanku yang lain. Aku mati rasa. Tak mengerti merasakan apa, tapi pipiku tanpa sadar dititiki air mata. Air mata…. Aku berani sumpah, sejak masuk sekolah menengah pertama, aku tak pernah menangis. Tidak sama sekali, bahkan ketika ayahku meninggal dunia sekalipun.
Aku pernah berkata, tidak akan ada satu hal pun yang bisa membuatku menangis. Dan jika hal itu terjadi, itu adalah hari dimana aku gagal menjadi seorang laki-laki. Dan tanpa sama sekali kusangka, hari itu pun tiba. Aku menangis. Iya, menangis. Sialan.
Hujan. Ia mengingatkanku pada banyak hal yang kulewati dalam hidup ini. Ia mengingatkanku rasa bahagia, rasa kehilangan, rasa sakit, rasa cinta, dan bahkan kesedihan yang sebelumnya tak pernah kuterka. Ya, siapa juga yang mampu menerka takdir.
Hari ini rintik-rintik hujan menggelitik dedaunan yang sudah hampir seminggu tidak terjamah air langit itu. Dan dalam hitungan detik, gerimis menyeru memanggil sekutu dan kemudian hujan melantun dengan merdu. Sudah satu minggu sejak kelahiran putri pertamaku, artinya sudah satu minggu pula istriku pergi meninggalkanku, dan meninggalkan semuanya. Aku sudah baik-baik saja, paling tidak aku terlihat baik-baik saja. Orang-orang bilang, anakku sangat cantik. Tapi aku sendiri belum pernah memandangi wajahnya lebih dari satu menit. Aku selalu mengingat almarhumah istriku setiap kali melihat wajahnya. Sejujurnya, aku belum bisa menerimanya. Menerima semuanya.
Angin mendampingi derasnya hujan sore ini. Tak ada satu pun anak-anak kecil berlari sambil telanjang dada dan tertawa menikmati segarnya air hujan seperti yang selalu kulakukan dulu. Tak ada lagi keceriaan itu. Sepertinya hari ini hujan tidak membawa kabar gembira, seperti hujan terakhir yang mengguyur tubuhku seminggu yang lalu.
Aku mendengar suara istriku. Ah, tidak, bukan istriku, itu suara tangisan putriku. Entah apa yang ia tangisi. Ia bahkan tak tau kalau ibunya pergi hanya demi membiarkannya merasakan pahitnya hidup. Kalau saja aku bayi dan aku bisa memilih, aku pasti akan memilih mempertahankan hidup ibuku. Seandainya semua bayi tau betapa beratnya hidup…. Kasihan putriku….
Aku memandangi wajah anakku. Lama. Ini yang terlama yang pernah kulakukan sejak hari pertama aku berbagi oksigen dengannya. Dan mereka tidak berbohong, ia memang sangat cantik. Cantik. Andai saja aku bisa menggendongnya, menimangnya, dan mencium pipi merahnya.
Seorang laki-laki berbadan tegap menghampiri seorang wanita yang tengah mengayun-ayun putriku dalam pelukannya.
“Ini,” ucapnya seraya memberikan secarik kertas yang dimasukkan kedalam plastik bening.
“Apa?” tanya wanita itu.
“Baca sebentar, sebelum kami bawa ke kantor polisi,” ucap laki-laki bercambang panjang itu.
Wanita yang sedang berusaha mendiamkan putriku dari raungannya itu mengambil apa yang diberikan laki-laki berseragam itu dengan sebelah tangannya.
“Siapapun yang baca ini, tolong jaga Ara, dan kalau bisa tolong lunasi hutang biaya rumah sakit juga. Maaf ngerepotin.”
“Kami menemukan ini di dekat tempat korban meminum racun serangga,” ucap polisi itu.
Wanita tadi memberikan lagi surat kecilku itu pada polisi, membuang muka, dan dengan wajah tak senang pergi meninggalkan rumah kecil yang sedang ramai dikerubungi warga, setelah sebelumnya meminta seseorang lain membukakan payung untuknya.
Ketika mulai beranjak dewasa, tepatnya di usia 25, aku menemukan seorang wanita yang tak tak pernah berhenti membuat hatiku penuh sesak dengan cinta. Aku tipikal pria pendiam, jadi tak heran jika sampai usia 25, aku belum pernah berpacaran sama sekali. Aku belum pernah menyatakan perasaanku pada wanita manapun. Dan lagi pula, aku memang belum pernah mencintai dengan cinta pada level dimana aku merasa harus mengutarakannya. Tapi kali ini berbeda. Aku benar-benar jatuh cinta. Gadis itu sempurna menjadi wanita kedua yang sangat kusayangi, setelah ibuku. Gadis berambut hitam panjang itu memaksa hatiku untuk menyatakan cinta itu.
Kata Ibuku, wanita takkan mudah lupa jika diperlakukan dengan tidak biasa oleh laki-laki. Tentu saja ‘tidak biasa’ disini adalah ‘tidak biasa’ yang berkesan baik. Karena ia adalah wanita pertamaku, dan juga kuharapkan menjadi yang terakhir bagiku, maka aku akan membuat pengakuan cinta ini menjadi sangat spesial. Maka aku datang kerumahnya ketika hujan, memanggil namanya, dan melamarnya. Aku tidak terlalu optimis, sebenarnya. Aku datang dengan hanya membawa cinta. Tanpa kendaraan, karena rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari rumahku. Tanpa gelar, karena aku bahkan tidak memiliki cukup uang untuk melanjutkan kuliah. Tanpa bunga, karena uangku hari ini hanya cukup untuk membeli obat untuk ibu. Dan tanpa cincin, bunga aja gak kuat beli apalagi cincin. Tapi mungkin Tuhan mengirimkan malaikat-malaikat keberuntungan lewat bulir-bulir hujan. Aku diterima, olehnya, dan juga keluarganya. Ayahnya memang sangat menyukaiku, aku pernah mendengar beliau mengatakan itu pada ibuku. Katanya, aku adalah salah satu pemuda di lingkungan tempat tinggalku yang, walaupun pendiam, tapi sangat baik dimata masyarakat.
Dan akhirnya kami menikah, setelah bekerja keras menabung untuk biaya pernikahan kami. Saat itu, istriku sangat menyukai hujan. Katanya, hujan adalah definisi dari kata romantis. Dia bilang, pria yang menyatakan cinta di tengah derasnya hujan adalah pria romantis. Menurutku biasa saja, tapi karena aku mencintai istriku, jadi saat itu aku ikut menganut faham raintisme atau apalah itu namanya. Yang kutahu, saat itu hujan adalah dewa keberuntunganku.
Lalu satu setengah tahun setelah pernikahanku, istriku melahirkan. Aku sedang berada di sebuah kantor megah yang belum jadi, saat salah seorang tetaggaku menelepon dan memberitahu bahwa istriku dibawa kerumah sakit karna perutnya mulai mulas. Aku seorang kuli bangunan yang sedang mengerjakan sebuah kantor yang rencananya akan di bangun setinggi 9 lantai. Dan saat itu aku sedang beristirahat karena hujan turun sangat deras. Namun setelah mendapat telepon dari tetanggaku, tanpa pikir panjang aku langsung meminta izin pada Pak Mandor dan mencari bajaj menuju rumah sakit.
Aku berlari menyusuri koridor rumah sakit dengan pakaian basah kuyup karena kehujanan. Hingga sampailah aku di hadapan dokter yang langsung menyambutku dengan berita yang membuat lututku lemas seketika. Aku ingat, beberapa bulan yang lalu aku sempat meminta istriku menggugurkan kandungannya karena dokter bilang kondisi rahimnya tidak terlalu baik. Tapi ia tetap ingin mempertahankannya. Mempertahankan anak kami. Dan di tengah deras hujan yang dilengkapi dengan petir yang sahut menyahut dengan lantang, akhirnya anak pertama kami lahir dengan selamat. Tapi tidak dengan ibunya.
Kukira, hari kelahiran anak pertamaku akan menjadi hari yang paling membahagiakan dalam hidupku selain hari pernikahanku. Tapi siapa yang pernah mengira bahwa hari yang kunanti itu ternyata bertepatan dengan hari kematian istriku. Perempuan yang sangat kusayangi, pergi demi keselamatan perempuanku yang lain. Aku mati rasa. Tak mengerti merasakan apa, tapi pipiku tanpa sadar dititiki air mata. Air mata…. Aku berani sumpah, sejak masuk sekolah menengah pertama, aku tak pernah menangis. Tidak sama sekali, bahkan ketika ayahku meninggal dunia sekalipun.
Aku pernah berkata, tidak akan ada satu hal pun yang bisa membuatku menangis. Dan jika hal itu terjadi, itu adalah hari dimana aku gagal menjadi seorang laki-laki. Dan tanpa sama sekali kusangka, hari itu pun tiba. Aku menangis. Iya, menangis. Sialan.
Hujan. Ia mengingatkanku pada banyak hal yang kulewati dalam hidup ini. Ia mengingatkanku rasa bahagia, rasa kehilangan, rasa sakit, rasa cinta, dan bahkan kesedihan yang sebelumnya tak pernah kuterka. Ya, siapa juga yang mampu menerka takdir.
Hari ini rintik-rintik hujan menggelitik dedaunan yang sudah hampir seminggu tidak terjamah air langit itu. Dan dalam hitungan detik, gerimis menyeru memanggil sekutu dan kemudian hujan melantun dengan merdu. Sudah satu minggu sejak kelahiran putri pertamaku, artinya sudah satu minggu pula istriku pergi meninggalkanku, dan meninggalkan semuanya. Aku sudah baik-baik saja, paling tidak aku terlihat baik-baik saja. Orang-orang bilang, anakku sangat cantik. Tapi aku sendiri belum pernah memandangi wajahnya lebih dari satu menit. Aku selalu mengingat almarhumah istriku setiap kali melihat wajahnya. Sejujurnya, aku belum bisa menerimanya. Menerima semuanya.
Angin mendampingi derasnya hujan sore ini. Tak ada satu pun anak-anak kecil berlari sambil telanjang dada dan tertawa menikmati segarnya air hujan seperti yang selalu kulakukan dulu. Tak ada lagi keceriaan itu. Sepertinya hari ini hujan tidak membawa kabar gembira, seperti hujan terakhir yang mengguyur tubuhku seminggu yang lalu.
Aku mendengar suara istriku. Ah, tidak, bukan istriku, itu suara tangisan putriku. Entah apa yang ia tangisi. Ia bahkan tak tau kalau ibunya pergi hanya demi membiarkannya merasakan pahitnya hidup. Kalau saja aku bayi dan aku bisa memilih, aku pasti akan memilih mempertahankan hidup ibuku. Seandainya semua bayi tau betapa beratnya hidup…. Kasihan putriku….
Aku memandangi wajah anakku. Lama. Ini yang terlama yang pernah kulakukan sejak hari pertama aku berbagi oksigen dengannya. Dan mereka tidak berbohong, ia memang sangat cantik. Cantik. Andai saja aku bisa menggendongnya, menimangnya, dan mencium pipi merahnya.
Seorang laki-laki berbadan tegap menghampiri seorang wanita yang tengah mengayun-ayun putriku dalam pelukannya.
“Ini,” ucapnya seraya memberikan secarik kertas yang dimasukkan kedalam plastik bening.
“Apa?” tanya wanita itu.
“Baca sebentar, sebelum kami bawa ke kantor polisi,” ucap laki-laki bercambang panjang itu.
Wanita yang sedang berusaha mendiamkan putriku dari raungannya itu mengambil apa yang diberikan laki-laki berseragam itu dengan sebelah tangannya.
“Siapapun yang baca ini, tolong jaga Ara, dan kalau bisa tolong lunasi hutang biaya rumah sakit juga. Maaf ngerepotin.”
“Kami menemukan ini di dekat tempat korban meminum racun serangga,” ucap polisi itu.
Wanita tadi memberikan lagi surat kecilku itu pada polisi, membuang muka, dan dengan wajah tak senang pergi meninggalkan rumah kecil yang sedang ramai dikerubungi warga, setelah sebelumnya meminta seseorang lain membukakan payung untuknya.
No comments:
Post a Comment