Hujan dan Air Mata
Aku suka jika hujan turun. Karena aku selalu ingat, ketika hujan turun aku bisa menghabiskan waktu hingga dua jam hanya berdua denganmu saja.
Aku ingat, ketika hujan turun, kau selalu menunggu jemputanmu tiba, begitu juga denganku. Entah kenapa, jemputanku dan jemputanmu selalu datang paling akhir dibanding anak-anak lain.
Saat kita menunggu bersama, seringkali hujan turun. Aku tahu betul kebiasaanmu ketika hujan turun. Kau hampir selalu menengadahkan kedua tanganmu di bawah tetesan air dari atap sekolah. Lalu kau akan usil mencipratkannya padaku, dan jika aku membalasmu kau selalu saja ngambek.
Atau, kau selalu menyobek halaman tengah buku tulismu. Lalu melipat kertas itu hingga membentu perahu. Lalu kau menghanyutkannya pada selokan di depan kita. Kau terus menatap perahu itu berlayar hingga menghilang dari hadapan kita.
Aku suka jika hujan turun. Karena sering kali ketika kau mengerjakan tugas di rumahku yang hanya berjarak empat rumah dengan rumahmu, hujan sering kali turun, menghambat kepulanganmu. Saat itulah kau lebih banyak mengeluarkan suaramu dibanding saat di sekolah. Kau ceritakan segala hal padaku. Dan saat itulah aku semakin mengenal dirimu.
***
Juli 2015
Sejak setengah enam tadi matahari bermalas-malasan, hingga detik ini ia tak juga muncul. Kelabu, itu adalah warna yang mendominasi langit pagi ini.
Aku masih berdiri tegak, menatap beberapa jenis bunga yang tumbuh subur di taman rumah sakit ini. Entah sudah berapa lama, mungkin sudah hampir satu jam.
Di belakangku, aku tahu kau tengah duduk sambil menatapku, aku bisa merasakan itu. Namun sejak tadi kau sama sepertiku, hanya diam.
Aku tak tahu harus berkata apa padamu, karena terlalu lama aku menjauh darimu hingga canggung hadir di dalam jiwaku saat ini. Seolah aku baru saja bertemu dengan seseorang yang sekali pun belum pernah bertemu denganku.
Mengapa kau tak mengatakan sesuatu padaku? Marahkah kau padaku karena selama ini aku menghindarimu? Atau mungkin kau takut karena kau berpikir bahwa justru akulah yang marah padamu sehingga membuatku menjauh darimu?
“Kenapa, sejak tadi langitnya mendung terus ya?” Tanyamu tiba-tiba.
Aku melirikmu. Kulihat kau tengah menatap langit yang diselimuti gumpalan awan kelabu.
“Mendung terus, tapi kenapa nggak hujan-hujan ya?” Tanyamu lagi.
Aku tak menanggapi pertanyaanmu, karena aku tak tahu mesti berkata apa.
“Aku pengen deh, sekarang hujan turun. Rasanya udah lama banget nggak hujan-hujanan kaya dulu.”
Aku tetap diam.
Semenit berlalu, aku tak lagi mendengar ocehanmu. Bisu kembali menyelimuti kita.
****
Juni 2014
Aku ingat kejadian sore itu, ketika langit mengutus gerimis untuk turun ke bumi. Hari dimana untuk pertama kalinya aku menolak permintaanmu. Hari dimana aku melihat ada yang beda darimu
“Steven!” Seseorang memanggilku, ketika aku hendak pergi ke ruang ganti. Aku enggan berhenti, karena kutahu itu pasti dirimu. Aku hafal betul suaramu.
“Stev! Tunggu.” Kudengar kau memanggilku lagi, memintaku untuk berhenti melangkah. Namun aku terus saja melangkah. Tiba-tiba sebuah ide datang di otakku. Segera kuambil headset dari dalam tasku, lalu kusumbat kedua kupingku dengan headset itu. Ujung headset itu kumasukkan ke dalam saku celanaku. Berlagak tengah mendengarkan musik, walau ujung headset itu tak kuhubungkan pada port handphoneku.
“Stev..!” Kupercepat langkahku, berharap kau menyerah dan berhenti memanggilku. Jujur, siang itu aku tak ingin bertemu denganmu. Aku ingin menjauh darimu.
“Stev…..ven. Tung….gu.” Kudengar suaramu terbata-bata, sepertinya kau terengah-engah. Entah kenapa mendengar suaramu seperti itu membuatku merasa khawatir. Segera kubalikkan badanku, mencoba memastikan keadaanmu.
Kulihat kau berdiri beberapa langkah cukup jauh di depanku. Namun dari tempatku, aku bisa melihat pergerakan dada dan perutmu. Aku tahu kau pasti terengah-engah. Aku ingin menghampirimu, tapi ada suatu bisikan di telingaku yang menyuruhku untuk tak mendekatimu. Aku diam di tempat, mematung sambil menatapmu.
Kulihat kau mengusap hidungmu berulang kali. Aku tak bisa terus berdiam diri mematung. Aku tahu keadaanmu kini sedang tidak baik-baik saja. Segera kuberlari kecil menghampirimu.
Ketika aku datang, kau masih sibuk mengusap hidungmu. Kulihat cairan berwarna merah hati terus mengalir dari lubang hidungmu. Kau berusaha untuk membersihkannya.
“Sa…, ka..kamu nggak papa?” Tanyaku iba. Mungkinkah ini salahku? Membiarkanmu berlari mengejarku. Membuat cairan itu mengalir.
Kau berhenti mengusap hidungmu. Kau tatap aku. Aku bisa melihat wajahmu begitu jelas. Saat itu, aku bertanya pada diriku, siapakah yang ada di hadapanku? Apakah yang ada di hadapanku adalah dirimu atau bukan? Karena aku merasa bahwa bukan dirimu yang tengah berdiri di hadapanku, melainkan sesosok mayat hidup. Ya, kau mirip mayat. Kulitmu lebih putih dari biasanya. Tatapanmu sayu. Bibirmu kering.
Kau tak berkata apapun, kau hanya menggeleng.
“Tadi kamu manggil aku?” Tanyaku bodoh.
Kau mengangguk.
“Maaf ya, aku nggak denger. Tadi lagi dengerin musik.” Ucapku bohong sambil melepas headset yang menyumbat kedua kupingku.
Kau mengangguk sambil menyunggingkan sebuah senyum manis. “Nggak papa kok.”
“Ada apa?”
“Mau latian basket ya? Selesai jam berapa?”
“Kamu nggak dijemput?”
Kau menggeleng “Mama sama Papa lagi ke Surabaya, nengok Kak Azriel. Terus, mobil yang satunya lagi masuk bengkel.”
Kupasang wajah penuh penyesalan “Yah, maaf Sa. Tapi aku nanti pulang maghrib. Kamu mau nunggu aku sampai maghrib?”
Ku lihat kekecewaan terpancar dari kedua bola matamu.
“Maaf ya Sa.”
“Iya, nggak papa kok. Ya udah kalau gitu, aku naik taksi aja. Eee, aku duluan ya.”
Kau segera membalikkan badanmu, melangkah menjauh dariku. Kutatap punggungmu hingga menjadi sebuah titik kecil tak kasat mata.
Kau tahu? Sore itu anak basket tengah menjadi pemain drama. Aku memang ada latihan basket, namun sejujurnya tak sampai maghrib, aku latihan basket hanya sampai jam setengah lima sore.
Maaf aku berbohong padamu. Namun sore itu entah kenapa rasanya aku enggan pulang bersamamu, dan aku enggan jika harus berdua denganmu.
Maaf tentang kejadian sore itu, karena kejadian sore itu adalah gerbang kebohonganku selanjutnya.
***
Januari 2013
Sadarkah kau? Tiap ada momen khusus dalam hidupmu, angkasa seolah telah merencanakan untuk mengutus rintik hujannya ke bumi. Seperti suatu hari sepulang sekolah kau berteriak nyaring setelah membaca SMS yang awalnya aku tak tahu dari siapa.
“Apaan sih teriak-teriak?” Tanyaku sewot karena teriakanmu itu membuat telingaku serasa tuli secara tiba-tiba.
Kau mengacungkan telunjuk dan jari tengah kedua tanganmu sambil tersenyum lebar. “Maaf..” Ucapmu dengan wajah sumringah, bahkan setitik rasa bersalah pun tak kulihat di wajahmu.
“Aku seneng banget Stev.”
“Seneng banget, terus pake acara bikin telinga orang budek?”
“Maaf. Udah minta maaf juga, sewot banget sih.” Ucapmu kesal.
Aku diam, memasang wajah jengkel. Sesaat kemudian kau sodorkan ponsel cerdasmu ke depan wajahku.
From: Bu Maya
Ibu td ke Dinas penddikan
Kmu juara satu, maju ke provinsi
Begitu tulisan yang kubaca di layar ponselmu. Aku memandangmu tak percaya.
“Dari lima peserta?”
“Enak aja!” Kau memukul lengan kananku sedikit keras hingga berbunyi. “Nggak ngerti dari berapa peserta, yang aku ingat dari empat puluh satu sekolah.”
Dan, hari ini pun menjadi momen yang menurutku itu adalah momen besar untukmu. Hari ini Adit dengan malu-malu menyatakan perasaannya.
Kau tahu? Agatha, sahabatmu yang juga merupakan sepupu tak kukehendaki (ya, karena Tuhan tanpa meminta persetujuanku menakdirkanku memiliki sepupu selayaknya ibu tiri dalam kisah Cinderella sepertinya) Menakut-nakutiku.
“Hari ini Adit mau nembak Lissa. Lo udah tahu?” Tanyanya datar.
“Ya udah lah, orang dia temen gue.”
“Terus?”
“Terus? Maksudnya?”
“Ya terus lo gimana? Ngebiarin aja Lissa ditembak Adit?”
“Ya iyalah. Masa gue mau nglarang Adit nembak Lissa?”
“Lo nggak papa?”
“Ya nggak papa.”
Agatha memasang wajah putus asa “Kok lo nggak ada ekspresi apa-apa sih? Masa gitu? Lissa mau ditembak Adit kok lo tenang-tenang aja?”
Aku tertawa geli. “Oh, maksud lo, gue suruh panik gitu. Suruh panas, suruh was-was kaya lo gitu? Suruh berlebay-lebay ria?”
“Ya iyalah, dimana-mana kalau gebetan kita mau diambil orang jelas kita khawatir.”
“Santai aja lah. Selama ini siapa sih yang pernah diterima Lissa? Lagian lo sendiri kan yang bilang kalau Lissa itu Royal Princess. Like a diamond, Cuma orang-orang yang bener-bener mampu aja yang bisa jadi pacarnya. Jadi, santai aja lah.”
“Iya, emang bener. Tapi, gimana kalau kali ini dia nerima Adit?”
“Ya, berarti gue harus turut berbahagia karena sahabat gue jadian sama sahabat kecil gue.” Ucapku sambil tersenyum santai.
Kau tahu, aku selalu memasang wajah riang dan santai di hadapan Agatha dan aku selalu sukses membuatnya percaya bahwa aku baik-baik saja, walau kenyatannya aku tak begitu. Kenyataannya aku selalu khawatir bila ada seseorang yang menyatakan perasannya padamu.
Jujur, siang tadi aku begitu khawatir. Aku takut jika kau juga memiliki rasa yang sama dengan Adit. Karena sama dengan anak-anak yang lain, menurutku kau dan dia begitu serasi. Menurutku, kau dan dia begitu dekat. Dan aku selalu melihat kau selalu tertawa bahagia saat dia ada di dekatmu.
Namun sepertinya Cupid siang tadi batal untuk datang ke taman sekolah, hadir di antara kau dan Adit. Karena siang tadi langit nampak pucat, matahari bersembunyi malu-malu dibalik kelabunya awan. Meski di sekolah tadi hujan belum turun, mungkin di rumah Cupid, hujan sudah turun dengan lebat, sehingga ia enggan datang untuk memanah hatimu untuk Adit.
Tak perlu berbohong, tentu aku senang ketika kau mengatakan. “Di luar sana, ada yang jauh lebih baik dari aku yang aku yakin juga memiliki rasa yang sama dengan yang kamu rasakan.”
Tapi aku ingin tertawa jika harus berkata jujur tentang perasaanku. Aku senang, namun aku merasa kasihan pada Adit. Ya, kau tahu kan dia sahabatku? Sangat kejam rasanya jika aku harus tertawa bahagia ketika Royal Princess sepertimu tak memiliki rasa yang sama dengan apa yang ia rasakan. Namun, kenyataannya aku memang bahagia ketika aku tahu hal itu. Ah, aku memah sahabat yang kejam.
Kau tahu? Tuhan adalah sutradara yang sangat pandai membuat sebuah drama kehidupan. Ketika kau mengatakan hal itu, mendadak saja gerimis turun. Lucu, itu menurutku. Adit tak menangis, namun kutahu hatinya menangis, dan langit mewakili tetesan air matanya dengan air hujan.
***
Maret 2013
Pagi ini aku dan yang lain begitu menanti kehadiranmu. Tiga hari kau tak hadir di antara kami, demi mengharumkan nama sekolah bersama grup orchestra sekolah. Kami sangat ingin mendengar pengalamanmu selama tiga hari di luar kota. Kami ingin tahu apakah kau dan anak-anak orchestra lainnya pulang membawa kemenangan atau tidak.
Jam menunjukkan pukul 06:50 tapi kau belum juga muncul di hadapanku dan yang lainnya, hingga bel tanda pelajaran pertama dimulai kau belum juga muncul di hadapan kami.
Sepuluh menit berlalu, ketika guru berwajah Eropa dengan mata sipit seperti orang Jepang itu mengabsen kami, tiba-tiba saja pintu kelas yang tadinya tertutup rapat secara perlahan terbuka. Sesosok gadis berambut panjang yang acak-acakan muncul dari balik pintu, gadis itu adalah kau.
Kau melangkah mendekati guru itu sambil merapikan dirimu. Penampilanmu tak seperti anak lainnya. Kau layaknya seorang atlet yang baru saja selesai mengikuti lomba maraton.
“Maaf Pak, saya terlambat.” Ucapmu tanpa memandang guru itu. Entah mengapa kau menundukkan wajahmu, tak memandang guru itu. Mungkin, saat itu kau berpikir bahwa yang ada di hadapanmu adalah Pak Eros, maka kau merasa takut lalu menundukkan wajahmu.
Kau salah, guru itu bukan Pak Eros, melainkan Kak David. Guru paling cakep dan kece menurut sahabat-sahabat perempuanmu, dan tak bisa kupungkiri, menurutku juga begitu, guru itu tampan dan keren bahkan menurut semua anak laki-laki di kelas kita, guru itu memang tampan dan keren.
Guru itu memandangmu dalam diam. Ia menatapmu lekat, entah mengapa guru itu tak berkata apapun. Perlahan kau mengangkat wajahmu, mungkin saat itu kau kebingungan mengapa Kak David yang kau kira Pak Eros tak berkata apapun dan tak memarahimu.
“Lissa?” Ucap guru itu ragu ketika kau telah mengangkat wajahmu.
Kulihat ada rasa kaget yang terpancar dari kedua matamu, dan pada wajah Kak David pun juga begitu. Kalian saling diam beberapa detik, tak sampai satu menit. Jika apa yang kau alami adalah sebuah sinetron atau film, mungkin benda-benda dan orang lain di sekitar kalian menjadi blur. Lalu terdengar music tegang atau menye-menye. Namun kenyataannya tak begitu, karena kejadian itu bukanlah sinetron ataupun film.
Kau segera menundukkan wajahmu lagi. Entah itu hanya perasaanku atau bukan, kurasa kau begitu ketakuatan dan tak ingin menatap wajahnya.
“Ee..saya boleh duduk?” Tanyamu sedikit terbata.
Kak David mengedipkan kedua matanya, dengan kikuk dia menjawab. “E, eh, iya. Boleh, silahkan duduk aja.”
Kau berjalan cepat munuju bangkumu, seolah kau menghindari cowok itu.
Kenapa Lissa kaya kaget gitu ya? Kaya udah pernah ketemu Kak David, apa emang pernah ketemu, atau mungkin mereka saling kenal? Batinku bertanya.
***
September 2013
Kemarin sore di rumahku, seperti biasa aku dan kamu mengerjakan pekerjaan rumah. Kali ini tak tahu kenapa kau yang meminta untuk datang ke rumahku. Padahal hari itu aku sedang tak membutuhkan bantuanku, dan kurasa kau tak pernah minta bantuanku untuk mengerjakan pekerjaan rumah karena mungkin kau sadar bahwa aku terlalu bodoh untuk membantu anak secerdas dirimu menyelesaikan pekerjaan rumah.
Ada yang beda darimu. Kau tampak tak bersemangat. Sebisa mungkin kucoba untuk bersikap biasa dan menceritakan berbagai hal padamu agar kau tersenyum. Ya, kau memang tersenyum, namun kutahu senyummu itu bukan senyum yang biasanya kau berikan untuk orang-orang di sekitarmu. Senyummu adalah sebuah senyum simpul yang relatif sepat bak pisang belum matang. Bukan senyum masam yang menyegarkan yang dimiliki oleh jeruk nipis, senyummu sepat, menggelikan di lidah.
Aku menyerah. Lalu suasana selayaknya lagu milik Jamrud yang berjudul Pelangi di Matamu pun terjadi. Tiga puluh menit aku dan kamu saling diam dan membisu. Hingga akhirnya aku berusaha memancingmu agar kau mau menceritakan hal yang kuduga telah membuncah di dalam benakmu.
Memancingmu bicara seperti memancing ikan hiu dengan pancingan ikan lele. Rambutku serasa memutih, gigiku mulai ompong, dan aku pun mulai terbungkuk demi menunggumu bicara.
Puji Tuhan Pekikku dalam hati ketika kau mulai membuka suara.
Saat kita sampai pada pertengahan ceritamu menuju klimaks. Tuhan mengagetkanku dengan suara petir, aku berteriak bak anak perempuan, dan kau…Kau diam dan memasang wajah datar. Rasanya saat itu jiwaku dan jiwamu tertukar. Bukankah seharusnya aku yang santai sepertimu dan kau yang menjerit kaget selayaknya mahluk bernama hawa pada umumnya?—berteriak lebay.
Aku terus mendengarkan ceritamu. Ya terus mendengarkannya, hingga akhirnya kutahu siapa tokoh utama selain dirimu dalam ceritamu.
Kagetku ketika mendengar nama itu melebihi kagetku ketika mendengarkan suara petir tadi. Di akhir ceritamu kau hanya diam, dan aku tak bisa menanggapinya, aku tak bisa berkata apa-apa, atau lebih tepatnya aku tak berani berkata apapun.
Sore itu aku jadi tahu, apa alasanmu mempertahankan kesendirianmu dan menolak banyak Royal Prince yang berusaha untuk memilikimu.
Aku biarkan kau diam. Ya…ya, dan akhirnya lagu Jamrud itu terjadi lagi untuk yang kedua kalinya.
Aku menatapmu iba. Wajahmu sendu, tapi kulihat matamu memerah. Kutahu kantung matamu sudah penuh dengan air mata. Mengapa tak kau teteskan saja?
Seolah terhipnotis, tanpa sadar tangan kananku menggenggam tangan kananmu. Aku sedikit geli melihat perbedaan kulitku dan kulitmu, bagaikan susu vanilla dan susu cokelat. Tentu milikku lah yang menjadi susu coklat.
“Nangis aja Sa, jangan ditahan.” Ucapku sambil menatapmu sendu.
Kau mengatupkan kedua kelopak matamu, dan saat itu juga aliran sungai terbentuk di kedua pipimu, bersamaan dengan langit yang juga menangis.
***
Aku takut, setelah aku mendengar ceritamu. Kini Royal Princess telah bertemu dengan Royal Princenya. Aku selalu berusaha meyakinkan diriku
Tenang Stev, Lissa kan masih marah sama Kak David. Lissa kan udah bilang kalau sepertinya dia nggak akan nerima Kak David lagi. Lo nggak perlu khawatir
Itu yang selalu kukatakan pada diriku. Aku berusaha untuk tenang dan tak terlalu khawatir, tapi tetap saja aku selalu takut. Terlebih ketika pelajaran musik, di mana aku selalu melihat Kak David memberikan pandangan yang berbeda untukmu tak seperti pandangan yang ia berikan untukku dan anak-anak lainnya.
***
Oktober 2013
Tadi sore seusai rapat tim jurnalistik, gerimis mengiringi tiap langkahku menyusuri koridor sekolah. Hatiku tak sekelabu awan sore tadi, aku merasa begitu bersemangat untuk pulang. Itu karena aku berharap kau tengah menunggu jemputanmu, sehingga aku dan kamu bisa menunggu jemputan bersama, karena kutahu saat itu kau tengah latihan bersama tim orchestra.
Langkahku kupercepat, ketika kulihat kau tengah berdiri seorang diri beberapa meter di hadapanku. Namun mendadak langkahku terhenti, rasanya kakiku kaku ketika kulihat Kak David tengah menghampirimu dari arah yang berlawanan denganku.
Kulihat Kak David mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya, lalu ia mulai mengusap hidungmu. Bisa ditebak, benda itu adalah sapu tangan atau tisu lalu dia membersihkan darah yang mengalir dari hidungmu.
Oh, betapa perhatiannya dia, bahkan semenjak pertama kali aku tahu ada yang tak beres darimu, aku tak pernah berani untuk mengusap darah yang mengalir dari lubang hidungmu. Bahkan aku pun tak pernah melihat Agatha, Zahra dan Azizah mebersihkan darah itu.
Brengsek!
Kalian layaknya William dan Kate Middleton.
Kau tahu? Benda kecil dalam diriku yang sering kusebut hati ini terasa perih. Rasanya aku terserang penyakit Hepatitis B. Sakit sekali, meski aku tak pernah tahu bagaimana rasa sakit jika mengidap penyakit itu.
***
Februari 2014
Apakah kau ingat di sore itu, hari dimana kau memanggil-manggil namaku namun aku tak menghiraukanmu, hingga akhirnya kau terengah-engah dan membuat cairan merah itu mengalir dari kedua lubang hidungmu? Lalu aku mendekatimu dan berkata
“Maaf ya, aku nggak denger. Tadi lagi dengerin musik.”
Tahu kah kau jika aku berbohong? Sadarkah kau jika aku menghindarimu? Maaf, sore itu aku harus bersandiwara karena aku tak ingin bersamamu.
Kau harus tahu, jika aku terus bersamamu, maka aku harus menerima kenyataan bahwa kau dan Kak David adalah pasangan serasi. Sebuah kenyataan yang dengan terpaksa harus ku terima.
***
Maret 2014
Agatha mengatakan padaku bahwa kau mengira aku marah padamu karena aku selalu menghindar. Lalu ia mengatakan bahwa aku harus menghentikan semua ini.
Jujur, aku ingin menghentikannya, tiga bulan menjauh darimu rasanya ada yang aneh dalam hari-hariku. Sungguh, aku ingin kembali dekat denganmu. Namun keinginan itu selalu saja hilang bila aku melihat mu dan Kak David pulang bersama, terlebih dikala hujan turun.
***
Agustus 2014
Hari ini kau masuk rumah sakit. Aku segera menuju ke sana begitu mendengar kabar itu. Setibanya di rumah sakit ku lihat Papa, Mama dan Kak Eizel tengah menunggu di koridor rumah sakit. Di sana juga ada Agatha dan Azizah juga…Kak David.
Brengsek! Kenapa ia sudah berada di rumah sakit? Kenapa dia tiba lebih dahulu dibandingkan denganku? Tidak..tidak, bukan masalah siapa yang datang duluan, namun masalahnya adalah mengapa aku harus berada di rumah sakit bersamanya?
***
April 2015
Aku senang kau sudah sadarkan diri dari tidur panjangmu semenjak bulan Agustus tahun lalu. Ingin rasanya aku menjengukmu, namun ada bisikan yang mengatakan agar aku membatalkan niatku. Bisikan itu mengatakan bahwa tentu ada Kak David di sisimu, maka kuurungkan niatku.
Aku tidak benci Kak David, namun aku hanya tak ingin kalian tahu bahwa aku selalu salah tingkah jika hadir di antara kalian berdua.
***
Plakkk
Panas! Sebuah tamparan keras dari Agatha mendarat di pipi kananku. Membuat pipiku menjadi lebih hangat dari anggota tubuhku yang lain.
“Udah berapa kali gue memohon ke lo supaya lo dateng buat jenguk dia? Udah berapa kali gue minta ke lo buat muncul di hadapan dia walau cuma sepuluh menit aja Stev?” Tanya cewek bermata sipit itu sambil menatapku lekat. Tatapannya seperti serigala yang sudah dua malam belum makan yang tengah mengintai seeokor anak kijang yang baru lahir.
Aku diam sambil mengelus pipiku yang masih terasa panas.
“Sekali aja Stev, gue mohon banget. Sekali aja muncul di hadapannya. Apa lo nggak pengen ketemu sama dia?”
Aku masih diam. Kedua bola mataku menatap ke luar kafe dari balik jendela kaca ini. Di luar sana, orang-orang berlari kecil mencari tempat berteduh. Mereka yang mengendarai sepeda bermotor berhenti di bawah pohon untuk mengenakan mantel. Rintik hujan semakin deras.
“Stev, lo bisa ketemuan sama dia di suatu tempat yang hanya ada lo dan dia. Nggak ada orang lain, dan tentunya nggak ada Kak David.”
Aku tetap diam. Kedua bola mataku masih menatap jalan raya.
“Nggak ada yang tahu berapa lama lagi dia masih bisa hadir di dalam hari-hari kita. Gue mohon Stev”
Ku dengar Agatha mulai terisak.
***
Juli 2015
“Steven..” Kudengar suaramu dari arah kiri.
Kuputar badanku, kudapati dirimu tengah berdiri di hadapanku sambil tersenyum manis.
Aku menatapmu dengan datar.
Kau segera menundukkan wajahmu, lalu menggigit bibir atasmu. Kau tatap tanah. Entah apa yang kau tatap. Mungkin kakimu, bebatuan atau mungkin kakiku.
“Oh ya, aku mau ngasih ini ke kamu.” Kau sodorkan sebuah buku padaku.
Mataku bertanya “ini apa?”
“Itu, hasil hunting foto kita selama ini. Tiga minggu yang lalu, aku iseng aja lihat-lihat hasil hunting kita, dan tiba-tiba aja muncul ide buat nyetak itu dan dijadiin album. “ Jawabmu seolah kau bisa membaca pertanyaan tak terucap dari kedua bola mataku.
Kedua bibirku mengerucut. Kuanggukkan kepalaku sambil menatap buku tadi. Sejujurnya kedua mataku ingin menatapmu, namun hatiku enggan melakukannya.
Kulihat kau mengepalkan kedua tanganmu. Kau gigit bibir bawahmu. Kau kernyitkan keningmu, kedua alismu bertaut.
Aku yakin pasti kau kesal dengan sikap diamku. Maaf jika sikapku membuatmu kesal, namun aku benar-benar merasa canggung.
“Ada yang mau diomongin lagi nggak?” Tanyaku tiba-tiba.
Bodoh! Ya Tuhan, mengapa aku melontarkan pertanyaan seperti itu padamu? Pertanyaan itu sama saja dengan kalimat “Udah nggak ada yang mau diomongin lagi kan? Kalau nggak ada gue mau pergi.”
Kau menatapku dengan mimic wajah kaget, kau terlihat gelagapan. “E..eng..nggak ada kok. Udah, cuma mau kasih itu ke Steven.” Ucapmu kikuk.
Kau segera membuang pandanganmu.
Lima menit berlalu. Segurat cahaya panjang berbentuk zig-zag tampak di langit pucat, sedikit menggantikan peran sinar sang mentari untuk menerangi pucatnya langit.
“E..Kamu pasti banyak acara ya? Maaf ya kalau udah ngebuang waktumu. Aku cuma mau kasih itu aja kok.” Ucapmu terbata-bata
Kau menyingkap beberapa helai rambut yang menutupi wajahmu, menaruhnya di belakang kuping kananmu.
Kudengar napasmu terengah-engah, begitu jelas seperti suara kucing yang sedang tidur. Mau tak mau, aku terpaksa memandang wajahmu. Kulihat darah mengalir dari kedua hidungmu.
Aku tak memberikan titah pada tangan kananku, tanpa izin dariku tangan kananku segera membersihkan darah itu. Kau terhenyak, segera menyingkirkan tanganku dengan lembut.
“Hidung kamu berdarah Sa.” Ucapku lirih, aku khawatir.
“Eh..nggak papa kok.” Kau segera membersihkan darah itu.
“Sa, aku antar ke kamar ya?”
“Eh, nggak usah. A..Aku ke kamar sendiri aja.” Kau segera membalikkan badanmu sehingga memunggungiku, namun sesaat kemudian kau kembali membalikkan badanmu, hingga berhadapan denganku,
“Aku ke kamar dulu.” Ucapmu lalu menarik napas dalam. “Maaf, kalau selama ini udah bikin Steven kesel.”
Dadamu kembang kempis. Aku yang hanya melihatmu merasa tersiksa, bagaiaman denganmu yang mengalami susahnya bernapas?
“Sa, biar aku antar ke kamar.” Ucapku sambil meraih pergelangan tanganmu, menghentikan langkahmu.
Kau menggeleng. Wajahmu sama dengan sore itu, pucat sepeti mayat hidup. Kulit tanganmu sedingin es batu. Bibirmu kering.
“Aku bisa sendiri.” Ucapmu nyaris tak terdengar
Kau berusaha menepis tanganku, namun tak berhasil. Bukan genggamanku yang terlalu erat, namun tepisanmu kurasa tanpa kekuatan.
Kau mengusap hidungmu lagi. Sungguh, aku tak akan membiarkanmu menuju kamar rawatmu seorang diri.
“Sa, ayo aku antar ke kamarmu.”
Kau menggeleng. Dadamu kembang kempis, kau pejamkan kedua matamu. Ada sebuah garis berwarna lebih tua dari warna kulitmu di kedua pipimu. Kau mengusap garis itu, membuatnya tampak samar.
“Sa…”
Kau mulai terisak. Kau pandang aku lekat, aku balas memandangmu lekat. Air bening kembali mengalir dari kedua matamu.
Aku menatapmu lembut. Ingin rasanya kuhapus air matamu, namun pergerakan tanganku tertahan.
Kau memandangku sayu lalu dengan sekali gerakan kau rangkulkan kedua tanganmu pada tengkukku. Aku terenyak, lagi.
Isakanmu semakin jelas, dicampur dengan suara napasmu yang semakin tak beraturan.
“Kemana aja selama ini?” Tanyamu sesenggukan.
“Jangan pergi lagi. Aku minta maaf kalau udah bikin kamu marah.”
Lissa, kau tahu? Aku tak pernah marah padamu, aku hanya marah pada perasaanku. Mengapa harus ada sakit yang kurasa? Ah, aku benci perasaan itu.
“Iya, aku nggak akan pergi lagi.” Ucapku sambil mengusap rambut hitammu dengan lembut.
“ Aku sayang sama kamu. Jangan pergi.”
“Aku juga sayang kamu. Sayang banget..” Ucapku lirih, dan…perih.
Gerimis perlahan turun. Kau masih terisak. Kau tahu? Aku bersyukur hujan mulai turun, karena tanpa kau sadari aku menangis.
Menangis karena akhirnya aku bisa mengucapkan kata itu padamu. Menangis karena aku tahu sayangmu padaku sama dengan rasa sayangmu untuk Adit, Vano, Agatha dan sahabatmu yang lainnya. Menangis karena aku yakin bahwa memang rasa sayangmu untukku tak sama denga rasa sayangku untukmu, karena saat ini, di hadapanku, Kak David tengah berdiri sambil membawa payung. Aku yakin kau menyadari kehadirannya. Dan aku yakin Kak David mendengar kau mengucapkan kata sayang padaku.
No comments:
Post a Comment