Aku suka malam.
Karena
malam membawa kedamaian tersendiri bagiku. Semua amarahku, kesedihanku
juga kekecewanku pada dunia hilang bersama gelapnya malam. Di malam hari
aku dapat berpikir jernih. Aku hanya perlu duduk diam di dalam
kegelapan malam dan kedamaian pun mendekapku, membuatku tenang dan tidak
lagi memikirkan kesusahan hatiku.
Aku suka malam.
Karena
malam berarti akhir dari hari yang membosankan. Di malam hari aku
terlepas dari segala tuntutan. Berakhir semua kewajiban yang harus
kulakukan. Aku dapat beristirahat, menghilangkan segala kepeningan di
kepalaku. Aku tak lagi harus melakukan semua yang tidak ingin kulakukan.
Gelapnya malam membawa pergi serta beban yang harus kujalani.
Aku suka malam.
Karena
malam melindungiku dari pandangan. Aku tak lagi harus berpura-pura
menjadi seseorang yang diharapkan orang banyak. Aku kembali menjadi
diriku sediri. Aku bebas melakukan apa yang kuinginkan tanpa perlu takut
pandangan orang. Aku melakukan apa yang ingin kulakukan biarpun itu
dianggap tabu oleh orang-orang. Malam melepaskan topengku di siang hari.
Aku menjadi seseorang yang kuinginkan.
Aku suka malam.
Karena berselimut
dalam kegelapannya, aku tidak kelihatan. Bersembunyi dari orang-orang
yang kubenci. Orang-orang yang mengharapkan kesempurnaan dariku. Mereka
tidak akan menjangkauku di malam hari. Mereka tidak akan bisa menyuruhku
melakukan semua keinginan mereka. Di sarangku di malam hari, aku tak
lagi harus bertemu dengan mereka.
Aku suka malam.
Bagai
seorang suci yang mencari kesunyian. Sendiri dalam gelapnya malam.
Terhindar dari ramainya dunia. Di malam hari aku bisa duduk diam sendiri
ditemani oleh gelapnya. sepi, Tapi aku suka itu. Karena aku tak lagi
harus melihat segala hal yang
tak kusukai di siang hari. Di malam hari aku tak perlu melihat apa-apa
lagi. Aku hanya perlu memejamkan mataku dan menikmati kesendirianku.
Aku suka malam.
Seperti
seseorang mencari perlindungan. Begitu pula aku, mencari perlindungan
pada gelapnya malam. Meskipun dingin menusuk kulitku, tapi gelapnya
malam melindungiku dari terkaman binatang-binatang buas yang bernama
manusia. Binatang-binatang yang siap menerkamku. Menjadikanku mangsa
mereka dan siap menerkamku kapan saja mereka mau. Malam melindungiku,
karena mereka tak bisa menjangkauku di malam hari. Karena mereka tak
lagi bisa mendekati aku yang sedang bersembunyi di tengah gelapnya
malam.
Aku begitu menyukai malam.
Hingga
aku ingin malam berlangsung selamanya. Tak perlu lagi ada siang. Aku
selalu memohon dan berdoa agar malamku terus berlanjut. Tapi Tuhan tidak
mengijinkannya. Sudah hukum alam kataNya. Aku diam dan mencoba
menerimanya. Setidaknya aku masih bersyukur karena masih diberi
kesempatan untuk merasakan indahnya malam.
*****
Tapi
kini semua sudah berubah. Keadaan sudah berbeda. Bagiku sekarang tak
lagi sama. Aku kini tak lagi menyukai malam. Karena malam yang begitu
kucintai telah menkhianatiku. Malam dengan kejamnya melukai hatiku.
Menunjukkan sesuatu yang tak ingin kulihat. Memaksaku menerima keadaan.
Malam memutuskan cintaku dengan kekasihku. Karena malam memperlihatkan
padaku pengkhianatan kekasihku. Kenapa malam? Kenapa harus kau malam
yang menunjukkan semua itu padaku? Malam hanya diam tak menjawab semua
pertanyanku. Hanya kesunyian yang ada. Kesunyain yang kini tak lagi
kusukai. Sekarang aku benci malam. Aku benci sendiri.BIDADARI MALAM
Bidadari malam. Begitulah aku memanggilnya. Aku menemukannya secara tak sengaja diantara sekumpulan teman-temannya. Dia tampak begitu murni dan tak tersentuh. Aku terpesona menatapnya. Ia bak seorang bidadari yang turun dari khayangan. Wajahnya
cantik dan aura yang terpancar dari dirinya akan membuat pria manapun
akan menatap dirinya lebih dari sekali. Segala sesuatu dari dirinya
begitu sempurna. Ia benar-benar seorang bidadari. Hanya satu
kekurangannya, matanya tampak begitu sendu. Tampak kesedihan didalamnya,
ada luka yang tersisa. Mata yang telah melihat pahit manisnya dunia,
yang takkan pernah dilupakannya. Semakin lama aku mengenalnya, aku semakin yakin bahwa ia memang bidadari.
*****
“Aku yakin bahwa kamu adalah seorang bidadari yang diutus dari surga.” Kataku padanya suatu hari.
Ia tersenyum simpul setengah tersipu. Tapi aku menangkap ada pendar di matanya. Cuma sejenak, tapi aku suka sekali!
“Mungkin karena kamu melihatku memakai pakaian putih setiap hari.” Ia menjawab sekenanya.
“Tidak. Bukan karena itu. Ada hal lain selain itu. Kalau pakaian putihmu itu sih sempat membuatku berpikir kalau kamu adalah hantu.”
Ia tertawa renyah mendengar jawabanku. Hatiku terasa melambung melihat tawa yang begitu jarang diperlihatkannya.
“Aku benar-benar yakin kalau kamu bidadari. Apalagi semakin lama aku mengenalmu.”
"Mungkin saja benar katamu, aku seorang bidadari. Tapi aku bukan bidadari yang turun dari surga. Melainkan bidadari yang
ditendang dari indahnya surga karena melakukan kesalahan. Kemudian
dihukum oleh Sang pemilik surga ke neraka bernama dunia.” Jawabnya
getir.
Aku
memandangnya dengan sedih. Inginku mengusir lukanya. Menghapus sendu di
matanya. Kutahan hasratku untuk memeluk tubuh mungilnya dan mencium
bibir merahnya. Ia begitu tak tersentuh bagiku. Begitu jauh untukku.
“Sebenarnya apa yang paling kau inginkan di dunia ini?” Tanyaku kemudian.
Sesaat Ia
terdiam tampak sedang berpikir. Disandarkan punggungnya di kursi. Lalu
menyilangkan kakinya. Tampak olehku betisnya mulus dan langsing. Rok
mininya terangkat sedikit sehingga pahanya terlihat berkilau.
“Mungkin aku menginginkan cinta sejati. Tapi tampaknya hal itu tidak mungkin bagiku.” Ia menggumam hambar.
“Kenapa tidak mungkin?” Tanyaku heran.
“Tidakkah
kamu tahu? Aku memang seorang bidadari seperti katamu, tapi aku adalah
bidadari malam. Aku seorang pelacur, atau kalau ingin lebih halusnya
seorang kupu-kupu malam. Tidak ada pria yang mendekatiku karena
pribadiku. Mereka datang karena menginginkan tubuhku.”
“Jadi, kamu putus asa?”
“Tidak tahu. Aku Cuma memelihara asa walaupun sekecil ini.” Katanya seraya menunjukkan ruas salah satu jarinya.
Kami berdua pun terdiam. Larut dalam pikiran masing-masing. Kulihat ia tak seperti sedang duduk di bar
bersamaku. Ia pergi kedunianya sendiri, meninggalkan hingar bingar di
sekelilingnya. Sakitkah yang ia rasakan? Kenapa rasa ngilu itu juga
mendadak mendatangiku?
Kutenggak
segelas bir di hadapanku. Tanpa basa-basi kukatakan padanya bahwa ia
tampak begitu menarik saat itu. Membuat laki-laki merasa ingin
melindunginya, bersamanya, memeluknya, memilikinya, menemaninya…
Ia hanya tersenyum sinis mendengarku.
“Pernahkah kamu jatuh cinta?” Tanya ku lagi padanya.
Ia tersentak mendengar pertanyaanku. Masih termangu di dalam matanya yang sepi, ia mengangguk tanpa semangat.
“Kamu sudah mengungkapkan perasaanmu padanya?”
“Sudah. Kami berdua sama-sama saling jatuh cinta.”
“Lalu kenapa kamu masih berada di sini? Masih duduk bersamaku? Tidakkah saat ini kamu menginginkan berada di sampingnya?”
“Karena
aku jatuh cinta pada laki-laki yang salah. Mungkin saat ini ia sedang
berada di tengah keluarganya. Aku rindu sekali keapadanya, aku cemburu
sekali, aku kesepian menunggunya…. Dan rasa ini membuatku ingin mati
saja.”
Jawabannya
membuatku terperanggah. Tanpa mampu kutahan, kurangkul bahunya. Ia
hanya terdiam dalam sepinya. Direngguhnya segelas bir dihadapannya
langsung sampai tandas.
“Apakah kamu tidak ingin memilikinya? Memperebutkan cinta yang kalian miliki?” tanyaku.
Ia menggeleng sedih tanpa berkata apa-apa.
“Kenapa?”
Ia
diam saja menatap tajam mataku. Kemudian ia berjalan meninggalkanku
tanpa menoleh sedikitpun. Ah…. Kupikir sejak tadi aku hanya bisa
melemparkan pertanyaan tolol, konyol dan penuh rasa ingin tahu. Tapi
sungguh mati, aku tidak mempunyai kata-kata lain. Aku hanya ingin
bertanya lebih jauh tentang dirinya. Ingin mengetahui sisi kehidupannya
yang lain. Kehidupan yang selama ini tak pernah ia perlihatkan.
*****
Sudah
dua hari berlalu sejak kejadian malam itu. Dua hari pula aku tidak
melihatnya. Kutanyakan keberadaannya pada teman-temnannya. Tapi tak
seorang pun dari mereka mengetahuinya. Dua hari ini ia tak pernah
datang, begitu kata mereka. Kurasakan kesepian menggerogotiku. Aku
merasakan kehilangan akan dirinya. Tapi aku tak tahu dimana mencarinya,
nama aslinya pun aku tidak pernah tahu karena tidak pernah
menanyakannya.
Seminggu
pun berlalu, tak ada kabar sedikitpun tentang dirinya. Sampai suatu
hari seorang temannya datang menghampiriku dan berkata bahwa bidadariku
telah pergi. Terbang jauh dari kejamnya dunia ini. Ia bunuh diri karena
laki-laki yang dicintainya itu tak bisa meninggalkan keluarganya.
CINTA DIMANA KAMU?
Aku kecurian, aku kecolongan, aku kehilangan. Cintaku hilang entah
kemana. Aku mencari-cari di setiap sudut kamarku. Di dalam laci, di
bawah meja, di bawah tempat tidur, di dalam lemari. Cinta tidak ada
dimanapun. Aku bingung, aku kalut. Kucoba mencarinya sekali lagi,
hasilnya tetap sama.
“Cinta….dimana kamu??” teriakku setelah lelah mencari.
Hening, tidak ada jawaban. Kemana lagi aku harus mencarinya? Pikirku
bingung. Mungkinkah dia keluar? Kubuka pintu beranda kamarku, yang
kutemukan hanya kesunyian malam. Kutatap langit dan kulihat rembulan.
“ Rembulan, apakah kau melihat cintaku?” tanyaku pada rembulan.
“Tidak,” Katanya,lalu ia melanjutkan “kau tanyakan saja pada bintang.Mungkin dia tahu dimana cintamu berada.”
Kupalingkan kepalaku, kulihat bintang tak jauh dari tempat rembulan berada.
“Bintang, kau lihat cintaku?” ulangku.
“Tidak, aku tidak melihatnya. Coba kautunggu mentari, mungkin cintamu pergi bersama mentari.” Jawab Bintang.
“Tapi aku tidak bisa menunggu. Aku harus menemukan cintaku sekarang.” Sergahku.
“Tunggulah, beberapa saat lagi juga mentari datang. Bukankah kau sudah
diajarkan bersabar untuk menunggu cinta?” Kata Bintang kepadaku.
Aku menghela nafas kesal dan berkata pada bintang, “Tidak bisakah
kalian pergi sekarang, agar mentari segera datang? Aku perlu menanyakan
cintaku padanya.”
“Ini hukum alam.Kami tidak bisa pergi kalau belum waktunya. Kau tidak
bisa melanggar hukum alam. Semuanya sudah ada yang mengatur.” Jawab
Bintang dan Rembulan bersamaan.
Mendengar jawaban mereka, aku pun duduk diam dan menunggu Mentari,
Sementara Rembulan dan Bintang asyik mengobrol. Aku kesal terhadap
diriku sendiri kenapa sampai bisa kehilangan cinta, hartaku yang paling
berharga. Aku melamun, berharap menemukan cinta di dalam lamunanku.
Ditengah lamunanku, Rembulan dan Bintang berpamitan. Sudah waktunya
mereka pergi karena Mentari akan datang. Aku diam,tidak mempedulikan
mereka. Aku lega akhirnya mereka pergi juga dan Mentari pun datang.
Tanpa basa-basi aku pun bertanya kepada Mentari.
“Mentari tidakkah cintaku pergi bersamamu?”
“Tidak, aku tidak pergi membawa apapun. Mungkin cintamu terbang tertiup angin.” Jawab Mentari.
Kalau begitu, untuk apa aku menunggu Mentari pikirku. Penantian yang
sia-sia saja. Aku pun berlari mencari angin. Aku berlari tanpa
henti,tanpa mengenal kata lelah. Akhirnya aku menemukan angin di sebuah
taman.
“Angin,kaukah yang meniup cintaku hingga lepas dariku?” Tanyaku pada angin.
“Tidak,tidak mungkin aku meniup cinta. Meski aku mampu meniup
berbagai benda, tapi aku tidak akan bisa meniup cinta.” Jawab angin.
“Taukah kau dimana kira-kira cintaku sekarang berada?” Rasa lelah yang
tadi tidak kurasakan, sekarang mulai datang.
“Mungkin cintamu mengalir bersama air hujan.”
“Dimanakah aku dapat menemukan air hujan?” tanyaku lagi.
“Mana aku tahu. Kau tunggu sajalah disini. Dia selalu datang tanpa diduga.”
Menunggu dan menunggu lagi. Tidak bisakah aku melakukan sesuatu untuk
mendatangkan cinta padaku. Kenapa cinta harus pergi dariku. Aku disini
duduk termenung, mengingat hari-hariku bersama cinta. Aku merindukan
cinta. Rindu yang menyesakkan dada. Rindu yang tak berkesudahan. Mengapa
masih saja sunyi yang hadir. Rinduku sudah meluap tak tertahankan.
Cinta dimanakah kamu?
Suara petir mengagetkanku. Tapi dengan segera aku langsung bersemangat.
Suara petir menandakan hujan tak lama lagi akan datang. Kutunggu
beberapa saat, dan hujanpun datang membasahi tubuhku.
“Hujan, lihatkah kau dimana cintaku?”teriakku.
“Tidak. Dimanakah kau meletakkanya?” kata hujan balas bertanya.
“Kalau aku tahu aku tidak akan disini bersamamu dan bertanya padamu.” Balasku sengit.
*****
Aku lelah dan kesal. Aku ingin tertidur lelap dan bermimpi tentang
cinta. Dan begitu terjaga, aku ingin cinta ada disampingku. Kemana lagi
aku harus mencari? Haruskah aku berlari hingga keujung dunia? Haruskah
kuselami samudera luas, siapa tahu cintaku tenggelam di dasarnya? Aku
sakaw pada cintaku.
“Cinta….. dimana sih kamu?” teriakku pada klesunyian yang sejak tadi menemaniku.
Kesunyianpun menjawab,”Tidakkah kau coba bertanya pada cermin, mungkin dia tahu dimana cintamu.”
Mendengar itu, akupun pergi mencari cermin dan bertanya padanya, “Cermin, apakah kau melihat cintaku?”
“Ya, aku melihatnya.”
Kenapa sejak tadi tak terpikir olehku bertanya pada cermin yang selalu memandangku saat bersama cinta.
“Dimana?” Tanyaku bersemangat.
“Di dalam hatimu.” Jawab cermin.
“Di dalam hatiku?”
“Ya, masuklah kedalam hatimu dan kau akan menemukannya di sana.” Perintah cermin.
Aku pun masuk kedalam hatiku. Kuaduk-aduk hatiku. Kuperiksa satu
persatu dan akhirnya kutemukan cinta di bagian terdalam hatiku.
“Cinta, kenapa kau bersembunyi di dalam hatiku?” Tanyaku tanpa basa-basi.
“Aku tidak bersembunyi. Aku selalu beada di sini karena memang disinilah tempatku.” Jawab cinta.
“Lalu, kenapa kau tidak menjawab ketikaku panggil?” tunutku.
“Aku tidak bisa menjawab. Orang yang kau berikan cintalah yang harus menjawabmu.”
Aku terdiam dan mengingat kembali kepada siapa aku memberikan cintaku.
Lalu aku bertanya lagi kepada cinta, “Aku sudah memberikanmu kepada
orang itu, tapi dia menolakmu kenapa?”
“Jangan kau tanyakan padaku. Tanyakanlah padanya.”
Aku semakin kesal mendengar jawabannya.
“Aku tahu!!!” teriakku tiba-tiba. “Ini semua salahmu! Kau tidak cukup
baik untuk dirinya. Kau tidak pantas baginya.”
“Jangan kausalahkan aku! Tidak ada cinta yang tidak cukup baik. Cinta adalah bagian terbaik dari dirimu.”
“Lalu siapa yang salah kalau bukan kamu?” tanyaku.
“Salahkan saja waktu yang mendatangkanku pada saat yang tak tepat.”
Waktu yang sejak tadi hanya diam mendengarkan percakapanku dengan cinta merasa marah karena disalahkan.
“Bukan aku yang bersalah.” Kata waktu membela dirinya. “Salahkan saja
dirimu karena mencintai orang yang salah.”
“Bagaimana mungkin aku salah orang? Aku laki-laki dan dirinya wanita.
Lagipula dia wanita yang sempurna. Wajahnya cantik, hatinya seputih
salju. Apalagi yang salah pada dirinya ?” tanyaku.
“Jangan bohongi dirimu sendiri. Kamu juga pasti tahu apa yang salah
pada dirinya, hanya saja kamu tidak mau mengakuinya. Yang salah adalah
statusnya.” Jawab cinta.
“Benar,” kali ini waktu tak ingin kalah. “Dia sudah menjadi milik orang lain. Istri baru ayahmu. Ibu tirimu.”
Aku pun kembali terdiam. Aku kecewa pada diriku sendiri yang salah
mencintai orang. Pada intinya kekecewaanku bersumber dari
ketidakmampuanku,kegagalanku yang menyakitkan diriku.
“Lalu aku harus bagaimana sekarang?” tanyaku lirih pada cinta.
“Buanglah aku jauh-jauh. Hapuskan segala rasa cinta dihatimu pada orang itu.”
“Dan, aku tidak akan memilikimu lagi? Bagaimana aku bisa hidup tanpa
cinta? Bukankah banyak orang berkata bahwa cinta mampu mengalahkan
segalanya dan menghapus kebencian? Haruskah aku sekarang hidup dalam
kebencian?”
“Tidak, kau tidak boleh hidup dalam kebencian. Tapi tunggulah cinta
itu, cinta yang tulus dan murni yang terbalaskan. Akan tiba saatnya
cinta itu memaanggil. Bersabarlah.”
“Aku tidak bisa bersabar. Tidak bisakah cinta datang secepatnya,
sesuai keinginanku agar aku bisa melupakan cinta yang lalu.”
“Cinta tidak dapat direkayasa. Dia akan mengalir dengan sendirinya ke
dalam hati dan akan menemukan jalannya sendiri.”
Aku mencoba memahami makna kata-kata itu. Mungkin benar juga pikirku.
Mungkin lebih baik aku tidak memaksa bertemu cinta dulu. Kami memang
memerlukan waktu sejenak untuk berpisah. Tidak ada salahnya aku memendam
dahulu rasa rinduku. Membiarkan hatiku merintih dan meratap. Tapi
sejenak saja. Dan suatu hari nanti aku akan berjumpa lagi dengan cinta
itu. Menari bersamanya, tertawa bersamanya, tanpa batas, selamanya …..